
Catatan Hukum Dr. Anthon Raharusun
PSU Pasca Putusan MK: Sarat Kecurangan, Ancaman Nyata bagi Demokrasi
Sabtu, 16 Agustus 2025 Jayapura 122 Pengunjung
Pemilihan umum adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi. Sebagai negara demokratis, Indonesia secara rutin menggelar pemilu—baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada (Gubernur, Bupati, dan Wali Kota)—dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER-JURDIL), sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan utama pemilu adalah mewujudkan kedaulatan rakyat, membentuk pemerintahan yang sah dan legitimate, serta menciptakan pergantian kepemimpinan secara demokratis.
Pemilu juga berfungsi sebagai sarana pendidikan politik serta penguatan sistem ketatanegaraan. Oleh karena itu, proses pemilu harus dilaksanakan secara independen dan tanpa intervensi pihak manapun, terutama dari aparat negara.
Sayangnya, kenyataan di lapangan seringkali bertolak belakang dengan idealisme tersebut. Pemilu yang tidak demokratis—karena sarat kecurangan dan manipulasi—berpotensi melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas dan korup, termasuk di tingkat daerah.
Salah satu tujuan pelaksanaan Pilkada serentak adalah memperkuat sistem pemerintahan daerah dan demokrasi lokal. Namun, dalam perjalanannya, demokrasi lokal di Papua justru sering kali terganggu oleh berbagai praktik curang dan intervensi kekuasaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilgub Papua 2024.
Putusan tersebut membatalkan hasil penetapan sebelumnya, mendiskualifikasi calon wakil gubernur dari pasangan nomor urut 1 (Yermias Bisai), dan memerintahkan PSU dengan tetap menggunakan daftar pemilih tetap yang lama.
KPU Papua kemudian melaksanakan PSU di 9 kabupaten/kota. Hasil sementara menunjukkan bahwa pasangan Benhur Tomi Mano–Constant Karma (BTM-CK) unggul dengan 259.886 suara (50,72%), sedangkan pasangan Matius D. Fakhiri–Aryoko Rumaropen (Mari-Yo) memperoleh 252.507 suara (49,28%). Selisih suara mencapai 7.379 suara, dan BTM-CK unggul di sejumlah kabupaten seperti Jayapura, Sarmi, Waropen, dan Mamberamo Raya.
Namun, proses PSU ini tidak berlangsung tanpa masalah. Sejumlah laporan dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan PSU diwarnai oleh berbagai kecurangan dan intervensi dari pihak-pihak yang tidak berwenang.
Ada dugaan kuat bahwa pelaksanaan PSU diwarnai praktik kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Kecurangan ini diduga tidak hanya melibatkan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), tetapi juga oknum aparat kepolisian, penjabat gubernur, ASN, bahkan menteri aktif seperti Bahlil Lahadalia. Semua ini menjadi ancaman nyata bagi integritas demokrasi.
Contoh nyata terjadi di TPS 01 Kampung Amimoi, Distrik Teluk Ampimoi, Kabupaten Kepulauan Yapen. Pada 13 Agustus 2025, saat KPPS bersiap menggelar PSU, Ketua DPRK Yapen Ebson Sembay dan ajudannya Faros Waimbo, yang juga anggota Polres Yapen, dilaporkan melakukan intimidasi terhadap masyarakat dan penyelenggara. Aksi mereka disinyalir merupakan bagian dari upaya sistematis memenangkan Paslon Nomor 2.
Tindakan seperti ini bukan hanya mencederai proses demokrasi, tetapi juga bisa memicu instabilitas politik dan kemarahan masyarakat. Papua bukan daerah yang bisa dipermainkan; suara rakyat adalah harga mati.
Kita tentu berharap, KPU Provinsi Papua yang akan menggelar pleno pada 22 Agustus 2025, benar-benar menjaga integritas proses pemilu. Rakyat Papua, khususnya di wilayah Tabi-Saireri, telah menyuarakan aspirasinya secara demokratis. Jangan sampai suara mereka dikhianati oleh praktik manipulatif dan intimidatif yang dilakukan oleh oknum aparat dan pejabat negara.
Apabila proses penghitungan suara akhir kembali digugat ke MK, kami tetap yakin bahwa pasangan BTM-CK adalah pemenang sah yang dipilih secara demokratis oleh rakyat Papua untuk memimpin periode 2025–2030. Oleh karena itu, seluruh komponen masyarakat, khususnya di 9 kabupaten/kota, diimbau untuk terus mengawal suara rakyat dan mencegah segala bentuk kecurangan.
Pemilu yang curang hanya akan melahirkan pemimpin yang korup. Papua dan Indonesia layak mendapatkan pemimpin yang terpilih secara adil, bukan yang menang karena manipulasi.
Demokrasi adalah milik rakyat, bukan milik penguasa atau aparat. Jika suara rakyat dikhianati, maka demokrasi runtuh. Mari kita jaga proses demokrasi ini agar tetap bersih, jujur, dan adil, demi masa depan Papua dan Indonesia yang lebih baik.
Anthon Raharusun
Tim Hukum BTM-CK
Penulis : Editor Iustitia